
1.
RUMAH
ADAT TONGKONAN
Tongkonan adalah rumah
tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan
ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa
Toraja yang berarti tongkon ”duduk”. Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku
Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam
kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat
tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar. Tongkonan
juga disebut-sebut mirip dengan rumah adat asal Sumatera Barat, yaitu rumah
gadang. Rumah adat inimasih ditinggali sebagai tempat beraktivitas
sehari-hari.
Dalam kisah lainnya,
diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam
jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan Upacara
Adat besar. Upacara itu dinamai MA’BUA tanpa melalui musyawarah adat
dan upacara memotong babi. Kemudian Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan
sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan
sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian
bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara.
Sementara kelompok yang
menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok
Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan dengan nama Banua
Puan; artinya rumah yang berdiri di tempat
yang bernama Puan. Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya
Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama
di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino;
artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama
(Pimpinan Komunitas To Lembang).
2. BAGIAN-BAGIAN RUMAH ADAT
Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang
melelahkan, sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga
jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi.
Digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan adalah
milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi
lokal. Sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusivitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang dapat pekerjaan menguntungkan di daerah lain di Indonesia.
Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang
besar.
Jadi tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar
rumah adat. Dan setiap tongkonan terdiri dari; Tongkonan (rumah) dan Alang
(lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri. Deretan Tongkonan dan
Alang saling berhadapan. Tongkonan menghadap ke utara dan
Alang ke selatan. Halaman memanjang antara Tongkonan dan Alang
disebut Uluba’bah.
Rumah adat Toraja,
Tongkonan dibagi ke dalam 4 jenis. Pembagian ini didasarkan pada fungsi
Tongkonan itu sendiri, yakni:
1.
Tongkonan Layuk,
merupakan rumah dimana peraturan serta penyebarannya disusun.
2.
Tongkonan
Pakamberan/Pakaindoran, merupakan rumah adat Toraja tempat dimana atura-aturan
yang telah dibuat dilaksanakan. Umumnya, dalam suatu region, ada banyak
Tongkonan Pakamberan yang keberadaannya di bawah Tongkonan Layuk.
3.
Tongkonan Batu A’riri,
merupakan rumah dimana pertalian keluarga dijalin. Jadi di rumah ini tak ada
aktifitas adat.
4.
Barung-barung, yakni
tongkonan yang didiami oleh keluarga bangsawan atau semacam rumah pribadi.
Jenis tongkonan ini diwariskan dari keluarga yang satu hingga generasi pelanjut
berikutnya.
Rumah tongkonan memiliki tiga bagian di dalamnya, yaitu
bagian utara, tengah, dan selatan. Tengalok, yaitu ruangan di bagian utara
berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat anak-anak tidur, serta tempat menaruh
sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan sebelah utara merupakan ruangan untuk
kepala keluarga namun juga dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan yang
terakhir, yaitu ruangan bagian tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi
sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang
mati.
3. DENAH RUMAH ADAT TONGKONAN
Denah:
1.
Tandok/Tangdo
Tandok
terletak di bagian depan rumah tongkonan. Tandok digunakan sebagai tempat ruang
tidur keluarga. Ruang ini
terletak di utara karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih terjaga.
Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah yang menghadap utara. Peil lantai
pada ruang Tangdo sama dengan ruang sumbung dan tidak terdapat ornament.
2.
Sali’
Sali’
terletak di bagian tengah rumah Tongkonan. Sali’ digunakan sebagai tempat untuk
berkumpul dengan keluarga juga digunakan sebagai dapur dan tempat untuk membuat
kerajinan tangan, wc, ruang
persemayaman jenazah. Yang diperbolehkan masuk hanya kerabat dekat dari
keluarga dan tetua-tetua adat. Peletakkan pintu masuk di sebelah utara atau
timur karena nenek moyang mereka berasal/datang dari utara, juga arah angina
yang datang selalu dari arah utara, utara mempunyai arti kebaikan. Pintu yang
terletak di sebelah timur mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan
dengan arah terbitnya matahari, dari sebelah timur.
3. Sumbung
Sumbu
terletak di bagian belakang rumah Tongkonan. Biasanya Sumbu digunakan sebagai
tempat tidur orang tua dan
anak-anak yang masih menyusui serta anak-anak gadis, dan tempat menyimpan
alat-alat serta harta pusaka. Peil lantai ditinggikan menandakan bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan
dan derajat yang tinggi pada wilayah tersebut. Sumbung berada di selatan karena
anak gasi dan anak yang masih kecil perlu pengawasan yang ketat, dengan
perlindungan dari anak laki-laki yang bertempat di Tangdo dan orang tua.
4. KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA
Rumah bagi masyarakat toraja yang
lebih di kenal dengan tongkonan, tidak sekedar tempat bernaung beristirahat dan
makan minum bersama keluarga tetapi lebih dari itu rumah merupakan tempat untuk
menyeimbangkan kehidupan fisik dan rohani, menyelaraskan hubungan horisontal
penguasa alam dan vertikal sesama manusia dan alam lingkungan sekaligus tempat
reuni mereka yang sesekali mengadakan pertemuan antara keluarga di dalam satu
marga karenanya masyarakat tanah toraja didalam membangun rumah tradisional
mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yang terdapat pada empat konsep
sebagai berikut:
- Konsep ‘pusar’ atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme.
- Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos bagian dari lingkungan makrokosmos.
- Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, atau atap menjulang menaungi ruang tengah rumah asap dan atap menyatu dengan father sky.
- Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti aqriri possi di toraja, possi bola di bugis, pocci balla di makassar, tiang menyatu dengan mother earth.
Pada masyarakat toraja dalam
kehidupannya juga mengenal filosofi aluq aqpa otoqna yaitu empat dasar
pandangan hidup: kehidupan manusia kehidupan leluhur “to doloq” kemuliaan tuhan
adat dan kebudayaan keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah
toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan “badan”
atau kekuasaan dalam kehidupan masyarakat toraja lebih di percayai akan
kekuatan sendiri, “egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur
rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja banyak dipengaruhi dengan etos
budaya “simuane tallang” atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang
saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah
adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang
menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung,
sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan
orang toraja didalam area tongkoan.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi
utara selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah puang
matua ulunna langiq dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat
roh-roh polloqna langiq. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti
kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para DealDewata memelihara
dunia beserta isinya ciptaan puang matua untuk memberi kehidupan bagi manusia,
dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para
leluhur To doloq atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Bagi Suku
Toraja, arah mata angin memang sakral. Mereka percaya bahwa bagian utara
merupaka kepala atau yang dikenal dengan istilah Ulunna Langi, yakni kepala
langit dimana Puang Matua atau tuhan berada. Adapun bagian Timur yang disebut
MataAllo merupakan titik energi dimana matahari muncul. Timur ini dikenal juga
sebagai sumber kebahagiaan pun kehidupan. Sementara itu bagian Barat atau yang
dikenal dengan nama Matampu adalah tempat matahari terbenam. Bagi Suku Toraja, arah
ini merupakan lawan dari kehidupan. Ia dianggap titik kematian juga kesusahan.
Terakhir adalah arah selatan yang dikenal juga dengan nama Pollo’na Langi atau
pantat langit. Ia merupaka lawan arah dari tempat Puang Matoa berdiam. Oleh
sebab itu selatan bagi Suku Toraja merupakan sumber hal-hal yang tak baik atau
juga angkara murka.
Dalam pembangunan rumah adat
Tongkonan ada hal-hal yang harus diperhatikan dan tidak boleh untuk di langgar,
yaitu:
1)
Rumah diharuskan menghadap ke utara,
letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan langit dan bumi itu
merupakan satu kesatuan, dan bumi dibagi kedalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
2)
Utara disebut Ulunna langi, yang
paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
3)
Timur disebut Matallo, tempat
matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
4)
Barat disebut Matampu, tempat
metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau
kematian.
5)
Selatan disebut Pollo’na langi,
sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik
atau angkara murka.
5. BENTUK DAN MAKNA SIMBOLIK RUMAH ADAT TONGKONAN TORAJA
Rumah
adat Toraja atau yang lebih dikenal dengan nama Tongkonan merupakan wadah atau
tempat berkumpulnya para kaum bangsawan Toraja, berkumpul dan membicarakan
masalah-masalah yang berhubungan dengan adat. Secara harfiah Tongkonan berarti
tempat duduk. Tulisan ini bermaksud untuk menerangkan beberapa hal sehubungan
denganbentuk dan makna simbolik rumah adat tongkonan di Tana Toraja.
Sesuai
dengan namanya, pemberian nama suatu tongkonan berdasarkan letak atau posisi
tongkonan itu sendiri, seperti Tongkonan Belo Langi yang berarti tongkonan
tempat tertinggi, juga berdasar pada nama daerah seperti Tongkonan Garampa dan
arti khusus yang melekat pada tongkonan tersebut seperti Tongkonan Merbali.
Adanya perbedaan struktur dari ketiga tongkonan tersebut semata-mata disebabkan
karena pertimbangan banyak tidaknya ruangan dari suatu bangunan.
Perbedaan jumlah ruangan suatu tongkonan
mengandung makna sosial dan ekonomi yaitu semakin banyak ruangannya semakin
tinggi kedudukan tongkonan tersebut. Posisi atau letak tangga dan pintu
tongkonan disesuaikan dengan konsep kepercayaan masyarakat Toraja yaitu Aluk
Todolo. Pada dasarnya pola hias pada ketiga tongkonan tersebut pada umumnya
banyak mengandung makna sosial, ekonomi dan religius magis terutama yang
berhubungan dengan realitas kehidupan pada masyarakat Toraja.

6. STRUKTUR, FAÇADE DAN BAHAN BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL
Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi
rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap
rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki
rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4
penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Tongkonan harus
menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna
langi’) sebagai sumber kebahagiaan.
Jika diamati, Tongkonan
hampir serupa dengan rumah
adat Sumatera Utara. Ia juga memiliki atap
yang tinggi menjulang ke langit. Suku Toraja juga menghias atap tersebut dengan
tanduk kerbau. Kerbau memang perlambang kebangsawanan Suku Toraja dan Suku
Batak.
![]() |
Adapun
sisi barat juga timur dari Tongkonan dilengkapi dengan jendela kecil. Ia
merupakan celah tempat cahaya matahari bertamu. Jika Anda jeli memperhatika,
ukiran kayu pada rumah Tongkonan Suku Toraja juga hampir serupa dengan rumah
adat suku Batak. Elemen warna juga
kurang lebih sama. Karena corak budaya yang mirip inilah sehingga banyak tafsir
sejarah yang berpendapat bahwa Suku Toraja dan Suku Batak berkerabat dekat.
Hal
lain yang juga sama adalah tata letak rumah adat, baik Toraja maupun Batak
memiliki rambu-rambu tersendiri dalam menentukan letak rumah adat mereka. Untuk
Tongkonan, hal yang mengikat dan tak boleh dilanggar adalah rumah dibangun
haruslah menghadap ke utara. Adapun letak pintu ada pada bagian depan rumah.
·
Pondasi:
Pada umumnya
sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi
pasak (knock down). Yaitu teknik konstruksi yang menggunakan sistem sambungan
tanpa paku dan alat penyambung selain kayu. Bahan pondasi sendiri terbuat dari
batu gunung
![]() |
·
Kolom/Tiang A’riri:
Terbuat dari
kayu uru,bentuk kolom persegi empat. Selain itu, digunakan juga kayu nibung
agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat dari kayu ini sangat keras
dan sapat sehingga terlihat licin. Kolom disisi barat dan timur jaraknya rapat
dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-orang yang datang saat upacara
kematian.
·
Balok:
Seperti
sloof, yaitu sebagai pengikat antara kolom-kolom sehingga tidak terjadi
pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom disambung dengan
pasak yang terbuat dari kayu uru.

·
Lantai:
Terbuat dari
bahan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai. Disusun pada arah
memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.
·
Dinding:
Dinding
disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat
utama yang dinamakan Sambo Rinding. Fungsinya sebagai rangka dinding yang
memikul beban. Pada dinding dalam , tidak terdapat ornamen-ornamen, hanya
dibuat pada bagian luar bangunan.

·
Tangga:
Tangga Rumah
Tongkonan terletak dibagian samping rumah, menuju pada pintu masuk atau
terletak di bagian tengah rumah menuju langsung ruang tengah atau Sali. Tangga
menggunakan kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi.

·
Pintu:
Pintu rumah
Tongkonan nampak dihiasi dengan beberapa motif ukiran. Salah satu motif pada
gambar pintu rumah tersebut adalah motif Pa’ Tedong. Ukiran yang melambangkan
kemakmuran. Sebagai pegangan, di pintu ditempatkan ekor kerbau yang dipotong
hingga pangkal ekor dan telah dikeringkan. Memasuki rumah adat ini
mempunyai cara tertentu yaitu pintu masuk harus diketuk dengan membenturkan
kepala perlahan lahan.

·
Jendela:
Jendela pada rumah Tongkonan
umumnya terdapat 8 buah. Masing-masing di setiap arah mata angin terdapat 2
jendela. Fungsinya adalah sebagai tempat masuknya aliran angin dan cahaya
matahari dari berbagai arah mata angin.
·
Atap:
Atapnya
melengkung menyerupai perahu (merupakan pengaruh budaya Cina) terdiri atas
susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng) dan diatasnya
dilapisi ijuk hitam. Terbuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih
dengan dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh rotan/tali bambu.

Pada umumnya system struktur yang dipakai untuk
bangunan Tongkonan adalah system konstruksi pasak (knock down).
Beberapa
keistimewaan Tongkonan Ke’te Kesu’ adalah:
o Katik,
bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang dan ramping.
o Sedangkan
tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7 buah, berjajar pada bagian
lebar bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya berjumlah 8 buah, dengan 2
kolom berjajar pada bagian lebar bangunan dan 4 kolom kea rah belakang/bagian
panjang bangunan.
o Bangunan/Tongkonan
yang tertua mempunyai struktur bangunan yang lebih rendah daripada tongkonan
yang baru dengan bentuk tiang kolom empat persegi.
Bentuk
dari Tongkonan dapat dibagi menjadi :
a.
Bagian kolong rumah
(sulluk banua)

v
Pondasi : pondasi yang digunakan adalah dari
batu gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan tanpa pengikat antara tanah,
kolom dan pondasi itu sendiri.
v
Kolom/tiang (a’riri) : tiang terbuat dari kayu Uru,
sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem, bentuk
kolomnya persegi empat. Pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk
tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk
manusia, sedangkan alang untuk padi. Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar
tikus tidak dapat naik ke atas, karena kayu ini sangat keras dan sapat sehingga
terlihat licin.
v
Balok : sebagai pengikat antara kolom-kolom diguanakan
balok-balok dengan fungsi seperti sloof, yang dapat mencegah terjadinya
pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom digunakan
sambungan pasak, disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut. Bahan yang
digunakan adalah kayu uru. Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang
hanya 1 buah, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah. Tangga menggunakan kayu
uru.
b. Bagian Badan Rumah
v lantai : pada
tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai.
Disusunnya pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang
terbuat dari kayu banga.
v Dinding :
pada tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi
papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sombo
Rinding. Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau
kayu kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.
c. Bagian Kepala
v Atap : pada
Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih yang
dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali rotan. Fungsi dari susunan
demikian adalah untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celahnya.
Fungsi lain adalah sebagai ventilasi, karena pada Tongkonan tidak terdapat
celah pada dindingnya. Susunan bambu di taruh di atas kaso yang terdapat pada rangka
atap. Susunan tampak (overstek) minimal 3 lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun
atap dengan banyak lapis yang tidak ditentukan, hanya mengikuti bentuk rangka
atap sehingga membentuk seperti perahu. Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk
menunjang atau menopang agar longa tidak runtuh/turun. Sangkinan Longa adalah
sebagai keseimbangan dari Longa. Semakin panjang Longanya maka jumlah Sangkinan
Longanya pun semakin banyak.
v Dinding :
susunannya seperti dinding pada bagian kepala badan.
7.
JENIS ORNAMEN, WARNA, UKIRAN DI
TORAJA DAN MAKNANYA
Motif-motif ornamen pada bangunan
Toraja mengambil bentuk-bentuk dasar : hewan, tumbuhan dan benda langit.
Motif hewan melambangkan kekuatan
dan kekuasaan, contoh :
·
Ayam jantan : berkokok jam 5 pagi
melambangkan kehidupan
·
Kepala kerbau : menunjukkan prinsip
yang kokoh.
Motif
tumbuhan melambangkan kemakmuran, contoh :
·
Lumut : menandakan sawah sebagai
sumber kehidupan.
Motif benda
langit melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh :
·
Matahari : sebagai sumber cahaya
(terang) dalam kehidupan.
Sedangkan
warna dasar (kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu :
·
Merah : berani berkorban.
·
Kuning : keagungan.
·
Hitam : berani berbuat baik.
·
Putih : mandiri.
Jumlah motif
ornament yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis, karena motif-motif
yang lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan. Contoh : Pa Kadang
Sepru (beras) melambangkan putusnya hubungan kekerabatan.
Umumnya bangunan tradisional Toraja
seperti rumah adat Tongkonan memiliki
banyak ragam ukiran-ukiran yang menggambarkan simbol-simbol dari benda yang ada
di sekitar hidup dan kehidupan manusia. seperti benda-benda langit, hewan dan
tumbuhan baik yang hidup di darat ataupun di dalam air juga benda-benda
berharga yang ada pada tongkonan.
Dari seluruh ragam ukiran yang terdapat pada rumah tongkonan, lumbung dan erong, ada 4 dasar ukiran atau dalam bahasa toraja disebut sebagai garonto' passura' diantaranya:
Pa' tedong, merupakan lambang tulang punggung kehidupan dan kemakmuran.
Pa' barre Allo, Lambang dari sumber kehidupan yang berasal dari sang pencipta.
Pa' Manuk Londong, melambangkan adanya aturan atau norma hukum (adat) dan kepemimpinan. Pa' Sussu', melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kehidupan. Garonto' Passura' tersebut harus ada pada tongkonan utama atau tongkonan yang menjadi induk dari beberapa tongkonan yang lain dalam bahasa toraja disebut sebagai Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pekaindoran. Dahulu ukiran dan pewarnaan dikerjakan sebelum dipasang (di pabendan) namun dalam perkembangannya saat sekarang ini pengukiran dan pewarnaan dapat dikerjakan setelah konstruksi selesai. sedangkan bahan pewarnaan ukirannya sampai sekarang masih ada yang menggunakan tanah (litak) yang memiliki warna kuning, merah, dan orange yang diambil dari berbagai tempat di toraja yang memiliki warna tanah tersebut. Meskipun kini pengaruh ukiran jawa dan bali telah merambah kesemua pelosok nusantara bahkan dunia termasuk Tana Toraja tetapi tidak mempengaruhi ukiran pada rumah adatnya. Perkembangan yang ada hanyalah pada variasi setiap jenis ukiran. sehingga sampai pada saat ini sudah terdapat sekitar 125 jenis ukiran-ukiran Toraja yang memiliki arti dan makna masing-masing.
Dari seluruh ragam ukiran yang terdapat pada rumah tongkonan, lumbung dan erong, ada 4 dasar ukiran atau dalam bahasa toraja disebut sebagai garonto' passura' diantaranya:
Pa' tedong, merupakan lambang tulang punggung kehidupan dan kemakmuran.
Pa' barre Allo, Lambang dari sumber kehidupan yang berasal dari sang pencipta.
Pa' Manuk Londong, melambangkan adanya aturan atau norma hukum (adat) dan kepemimpinan. Pa' Sussu', melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kehidupan. Garonto' Passura' tersebut harus ada pada tongkonan utama atau tongkonan yang menjadi induk dari beberapa tongkonan yang lain dalam bahasa toraja disebut sebagai Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pekaindoran. Dahulu ukiran dan pewarnaan dikerjakan sebelum dipasang (di pabendan) namun dalam perkembangannya saat sekarang ini pengukiran dan pewarnaan dapat dikerjakan setelah konstruksi selesai. sedangkan bahan pewarnaan ukirannya sampai sekarang masih ada yang menggunakan tanah (litak) yang memiliki warna kuning, merah, dan orange yang diambil dari berbagai tempat di toraja yang memiliki warna tanah tersebut. Meskipun kini pengaruh ukiran jawa dan bali telah merambah kesemua pelosok nusantara bahkan dunia termasuk Tana Toraja tetapi tidak mempengaruhi ukiran pada rumah adatnya. Perkembangan yang ada hanyalah pada variasi setiap jenis ukiran. sehingga sampai pada saat ini sudah terdapat sekitar 125 jenis ukiran-ukiran Toraja yang memiliki arti dan makna masing-masing.
Berikut ini beberapa jenis ukiran
yang banyak dijumpai pada Rumah adat Tana Toraja (Tongkonan) ataupun pada
Lumbung (Alang):
a. PA' BARRE ALLO
Barre = Terbit
/ Bulat
Allo = Matahari
Ukiran yang menyerupai bulatan
matahari, jenis ukiran ini banyak ditemukan pada bagian muka dan belakang rumah
adat Toraja pada papan bagian atas berbentuk segi tiga (Para Longa). Biasanya
diatas ukiran Pa' Barre Allo diletakkan ukiran Pa' Manuk Londong.
Makna dari ukiran ini adalah: Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.
Makna dari ukiran ini adalah: Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.
Pa' Barre Allo
b. PA' MANUK LONDONG
Manuk = Ayam
Londong = Jantan
Pa' manuk londong adalah ukiran
berupa ayam jantan, biasanya terdapat pada bagian muka dan belakang rumah adat
Toraja pada papan atas berbentuk segitiga. biasanya ukiran ayam jantan
diletakkan di atas ukiran pa' barre allo. Makna dari ukiran ini adalah:
Melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya oleh karna
pintar, pemahaman dan intuisinya tepat serta selalu mengatakan apa yang benar
(Manarang ussuka' bongi ungkararoi malillin).
c. PA' TEDONG
Tedong = Kerbau
Ukiran ini biasanya dilukiskan pada
papan besar teratas (Indo' Para) dan pada dinding-dinding penyanggah badan
rumah (Manangga banua). bagi masyarakat toraja kerbau adalah hewan paling
tinggi nilai dan statusnya, untuk itu bagi masyarakat toraja kerbau dijadikan standar
/ ukuran dari semua harta kekayaan. Makna dari ukiran ini adalah: Ukiran ini
bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat toraja,
selain itu ukiran ini juga melambangkan kebangsawanan.
![]() |
Pa' Tedong
d. PA' DOTI LANGI'
Doti = Ilmu (hitam)
Doti = Saleko (tedong saleko) / Kerbau belang
Doti = Baik = Cantik
Langi' = Langit
Ukiran ini berupa palang yang
berjejer-jejer dan ditengah-tengah ada semacam bintang bersinar seperti bintang
di atas langit. Makna dari ukiran ini adalah: Kepintaran / prestasi yang
tinggi, kearifan dan ketenangan, juga mempunyai cita-cita yang tinggi pemikiran
yang jauh cemerlang kedepan, bisa juga berarti wanita bangsawan, mempunyai
kasta tinggi.
Pa' Doti Langi'
e. PA' KAPU' BAKA
Kapu' = Ikat
Baka = Bakul
Kapu' Baka = Pengikat bakul tampat
menyimpan harta kekayaan rumah.
Pa' kapu' baka adalah ukiran yang menyerupai simpulan-simpulan penutup bakul (baka) baka bua dalam bahasa toraja adalah merupakan tempat untuk menyimpan harta bagi orang-orang tua jaman dahulu, sebelum ada peti, lemari, atau koper. simpulan-simpulan dari tali ini benar-benar rapih sehinggah ujung simpulan dari tali tidak kelihatan dan jika simpul telah berubah berarti ada yang telah mengambil sesuatu dari dalam bakul itu, Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, simpul rahasia melambangkan pemilik rumah memiliki pola kepemimpinan dan sukar ditiru oleh orang lain, selain itu juga pandai dalam memelihara rahasia keluarga.
Pa' kapu' baka adalah ukiran yang menyerupai simpulan-simpulan penutup bakul (baka) baka bua dalam bahasa toraja adalah merupakan tempat untuk menyimpan harta bagi orang-orang tua jaman dahulu, sebelum ada peti, lemari, atau koper. simpulan-simpulan dari tali ini benar-benar rapih sehinggah ujung simpulan dari tali tidak kelihatan dan jika simpul telah berubah berarti ada yang telah mengambil sesuatu dari dalam bakul itu, Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, simpul rahasia melambangkan pemilik rumah memiliki pola kepemimpinan dan sukar ditiru oleh orang lain, selain itu juga pandai dalam memelihara rahasia keluarga.
Pa' Kapu' Baka
f. PA' ULU KARUA
Ulu = Kepala
Karua = Delapan (8)
Menurut mitos orang toraja, dahulu
kala ada delapan leluhur dari orang toraja yang masing-masing menurunkan ilmu
dan pengetahuan menyangkut kehidupan manusia dan dunianya. kedelapan orang
inilah yang merupakan penemu (pencipta) ilmu pangetahuan yang diturunkan kepada
anak cucu turun-temurun. ilmu dan keterampilan inilah yang dikembangkan manusia
dari masa-kemasa hingga pada saat ini antara lain: to sikambi' lolo tau (Ilmu
kesehatan dan para medis), To sikambi' lolo tananan (Ilmu tumbuh-tumbuhan /
pertanian), to sikambi' to manarang (Ilmu Teknik), dll. Pa' ulu karua juga
berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan untuk berbaur dengan orang lain. Makna
dari ukiran ini adalah: diharapkan dalam keluarga muncul orang (anggota
keluarga) yang memiliki ilmu yang tinggi untuk kepentingan keluarga dan
masyarakat.
Pa' Ulu Karua
g. PA' ULU GAYANG
Ulu = Kepala
Gayang = Keris Emas
Pa' ulu gayang adalah ukiran yang
menyerupai kapala (tangkai) keris emas. jadi merupakan bagian dari pada keris
emas (gayang / gaang) Makna dari ukiran ini adalah: Oleh karna ulu gayang
adalah bagian dari gayang (keris emas) maka makna dari ukiran ini sama dengan
makna ukiran pa'gayang yaitu malambangkan laki-laki yang mulia, kaya, bijak dan
dari golongan bangsawan.
Pa' Ulu Gayang
h. PA' BOMBO UAI
Bombo uai = anggang-angang
Pa' bombo uai adalah ukiran yang menyerupai
binatang air (anggang anggang) yang dapat bergerak menitih air dengan halus dan
sangat cepat. Makna dari ukiran ini adalah: Pintar-pintarlah menitih kehidupan
ini dalam hal ini adalah lincah, cekatan, cepat, dan tepat. selain itu ukiran
ini juga berarti manusia harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang cukup
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Pa' Bombo Uai
i.
PA' BULU
LONDONG
Bulu = Bulu
Londong = Jantan
Ukiran ini menyerupai rumbai ayam
jantan. ada pepatah mengatakan: ayam dikenal karna tingkah lakunya. pada ukiran
Pa' manuk londong telah dijelaskan tentang arti dan makna Londong (ayam
jantan). Pa' bulu londong biasanya di garunggang atau diukir tembus.
Makna dari ukiran ini adalah: Bulu rumbai manghiasi ayam jantan demikian pula keperkasaan dan kewibawaan menyertai seorang pemimpin dan lelaki pemberani.
Makna dari ukiran ini adalah: Bulu rumbai manghiasi ayam jantan demikian pula keperkasaan dan kewibawaan menyertai seorang pemimpin dan lelaki pemberani.
Pa' Bulu Londong
j.
PA' DAUN
PARIA
Paria = sayur paria atau Pare
![]() |
Kita tau bahwa paria ini merupakan tanaman yang pahit. baik buah dan daun dapat dijadikan sayur-sayuran dan obat-obatan seperti obat batuk, atau malaria.
Makna dari ukiran ini adalah: kadang sesuatu yang pahit itu adalah obat yang dapat menyembuhkan. seperti teguran atau nasehat yang harus diterima walau menyakitkan namun akan membawa kebaikan.
Pa' Daun Paria
8.
SISTEM PEMERINTAHAN DAN ADAT
ISTIADAT
Sistem pemerintahan yang dikenal di
Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 daerah
yang terdiri atas :
1.
Makale
2.
Sangala
3.
Rantepao
4.
Mengkendek
5.
Toraja Barat.
Daerah-daerah Makale, Sangala dan
Mengkendek dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG.
Daerah Rantepao dipimpin oleh bangsawan yang bernama PARENGI, sedangkan daerah
Toraja Barat dipimpin oleh bangsawan bernama MA'DIKA.
Ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalam masyarakat. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG, sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa dapat saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.
Ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalam masyarakat. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG, sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa dapat saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.
Kepercayaan, kepercayaan di
Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam Agama
Hindu-Bali. Karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA
ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu-Bali. Kelas
atau kasta ini dibagi menjadi 4:
1.
Kasta Tana' Bulaan
2.
Kasta Tana' Bassi
3.
Kasta Tana’Karurung
4.
Kasta Tana' Kua-kua
Adat Istiadat, adat istiadat diToraja sangat dikenal
dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 macam pembagian
yaitu:
Upacara kedukaan disebut Rambu Solok
Upacara ini meiiputi 7 tahapan, yaitu :
1.
Rapasan
2.
Barata Kendek
3.
Todi Balang
4.
Todi Rondon
5.
Todi Sangoloi
6.
Di Silli
7.
Todi Tanaan
Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka
Upacara ini juga meliputi 7 tahapan, yaitu:
1.
Tananan Bua’
2.
Tokonan Tedong
3.
Batemanurun
4.
Surasan Tallang
5.
Remesan Para
6.
Tangkean Suru
7. Kapuran
Pangugan
Adat istiadat yang ada sejak dulu
tetap dijalankan sekarang, karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang
teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %). Hal ini terutama pada adat yang
berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Solok dan Rambu Tuka. Dua pokok inilah
yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal.
9.
PERKEMBANGAN RUMAH ADAT TORAJA ATAU
TONGKONAN
Rumah Adat Suku Toraja mengalami
perkembangan terus menerus sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini.
Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai
cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja
berhenti dalam proses perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus
menerus, tetapi rumah adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang
khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat
suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang
umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai
bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi
meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pada mulanya rumah yang didirikan
masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa
atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing.
Bentuk kedua
dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya
yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang
berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin
disebabkan adanya gangguan binatang buas.
Perkembangan
ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini
memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini
disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini
disebut Re'neba Longtongapa.
Berikutnya
adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya
sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya
lumbung.
Perkembangan ke-5 masih berupa rumah
pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan
dikolong rumah itu. Tiang-tiang dibuat sedemikian rupa, sehingga cukup aman.
Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan
susunan batang yang disusun secara horisontal .
Lama sesudah
itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi
ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi
dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai
berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar.
Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk
ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.
Berikutnya
adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini
terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.
Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai
dan tangga yang berada di bagian depan.
·
Pada periode ini letak tangga pindah
ke bawah serta perubahan permainan lantai
·
Banua Diposi merupakan nama yang
dikenal untuk perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk
menyempurnakan fungsi lantai (ruang).
·
Berikutnya adalah perubahan lantai
yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah
periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih
banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam
penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap,
paku, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir
merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.
10. SUMBER
Blue Fame. 2012. Menelisik Kebudayaan Suku Toraja, Sulawesi Selatan.
http://iniunic.blogspot.com/2012/12/menelisik-kebudayaan-suku-toraja.html#ixzz2HYxq05FI